Belajar Rendah Hati

Salam sehat untuk semua pembaca blog ini..

Di tengah Pandemi virus corona yang masih ada saat ini banyak penyakit yang bermunculan dan menjadi kewaspadaan bagi semua masyarakat untuk menjaga kesehatannya dan keluarganya. Tapi ada suatu penyakit “serius” yang sering tidak bisa dihindari oleh sebagian orang. Sombong, angkuh, tinggi hati adalah salah satu penyakit “serius” tersebut. Mungkin ada yang setuju dengan saya ya.. Jika dicermati memang belum ada indikator bagaimana cara mengukur kesombongan/keangkuhan seseorang. Karena sifat manusia itu lekat dengan yang namanya perasaan. Bener ga sih..? Jadi kadang penilaian masing-masing orang mungkin beda-beda ya tergantung perasaannya..

Tapi sesungguhnya sifat sombong adalah suatu keputusan atau pilihan. Loh kok bisa..? Ya sama dengan rendah hati. Karakter rendah hati adalah sebuah keputusan atau pilihan. Keputusan seseorang untuk tidak memamerkan hartanya, keputusan seseorang untuk tidak menunjukkan kuasanya, seseorang bisa memilih untuk bergaya hidup sederhana. Jadi soal keputusan dan pilihan saja. Apakah tidak boleh pakai pakaian bagus? Boleh dong.. Apakah tidak boleh pakai mobil mahal? Tentu saja boleh.. Apakah tidak boleh makan di restoran mewah? Siapa yang bilang tidak boleh..

Tapi ada hal-hal yang harus kita hormati, ada hal-hal yang harus kita perhatikan, ada perasaan yang harus kita jaga. Karena tidak semuanya sama dengan perasaan kita, tidak semuanya sama dengan pikiran kita, tidak semuanya sama dengan standar hidup kita. Kita tidak harus menurunkan standar kita ketika baru bertemu orang, dan kita juga tidak harus menaikkan standar kita ketika baru mengenal orang. Semuanya soal keputusan dan pilihan untuk tidak terlihat sombong (angkuh, tinggi hati) oleh orang lain. Salah satunya keputusan untuk belajar rendah hati.

Tas mahal tidak lantas membuatmu terlihat kaya, high heels tidak lantas membuat martabatmu naik seketika, mobil mewah tidak lantas membuatmu jadi orang terpandang seketika, nasihat panjang lebar tidak lantas membuatmu jadi orang paling bijaksana.

Evelyn Angelita

Refleksi Natal

Masih dalam suasana hari Natal yang baru dilewati beberapa hari lalu, saya ingin menuliskan sepenggal dari makna kelahiran Yesus (yang saya imani) yang kita rayakan sebagai hari Natal (Christmas Day).

Tuhan Memelihara. Bahkan mereka yang diciptakan Tuhan tapi tidak memuji Tuhan pun dipelihara. Terlebih kamu yang memberikan (sedikit) waktu dan hatimu untuk memujiNya. Lihatlah burung di udara bahkan ilalang di padang yang tidak disiram dan dipupuk dapat tumbuh.

Tuhan menghancurkan semua penghalang. Adakah yang menghalangimu, yang mencegahmu, yang menahanmu? Bahkan tembok Yerikho pun runtuh karena kehendakNya. Tidak ada yang terlalu besar bagiNya, tidak ada yang terlalu sulit bagiNya.

Pesan di atas merefleksikan bahwa kelahiran Yesus adalah sebuah pengharapan. “Tapi sulit untuk berpengharapan di situasi yang tidak pasti“. Betul. Ketika Maria mengandung dari Roh Kudus, dirinya pun takut, karena dia seorang manusia biasa. Bahkan ketika mau bersalin tidak satupun orang membuka pintunya untuk membantunya. Bahkan dunia harus melihat Yesus lahir di tempat paling hina. Bukan supaya dunia kasihan kepadaNya, tapi supaya dunia tahu Allah menggenapi rencanaNya akan hadirnya Juruselamat.

Untuk jiwa-jiwa yang terpanggil, mintalah supaya Tuhan menggenapi rencanaNya dalam hidup kita. Mintalah supaya pekerjaan Tuhan nyata dalam hidup kita, bukan pekerjaan kita.

-Angel

Tuhan Setia, Saya Belum Setia

Hari ini ceritanya saya lagi berulangtahun..

Puji Tuhan hari ini saya memasuki usia yang baru, ya seperti biasa banyak doa, keinginan, harapan dan cita-cita yang masih ingin dicapai dan tentu saja dengan pengaharapan yang baru dalam Tuhan. Jujur saja masa pandemi covid19 ini banyak mengubah kehidupan saya. Dari kerja rutin pagi (karena saya mengajar) menjadi mengajar dari rumah yang jadwal dan jam nya tidak beraturan bahkan malam hari. Etos kerja saya pun ikut terpengaruh. Saya banyak menghadapi tantangan dan hambatan dengan ritme kerja saya selama pandemi. 

Di sisi lain banyak aspek kehidupan saya selama pandemi ini juga ikut tidak normal. Dari olahraga, pola makan, jam makan, jam tidur, pola sosialisasi dengan teman-teman jadi lebih banyak virtual, semuanya jadi tidak normal dan tidak sehat. Ini pengalaman saya lho ya (bukan merepresentasikan orang lain). Dari semuanya itu ada yang paling tidak sehat menurut saya. Selama pandemi ini bukan hanya fisik saya yang terganggu tapi sisi spiritual saya pun ikut tidak sehat. Jika menghitung hari-hari ke belakang, banyak hari-hari yang berat saya jalani, banyak pergumulan, banyak rintangan/hambatan, kerap kali bersungut-sungut dalam hati, perasaan mengeluh di dalam dada semuanya campur aduk. Tidak tahu apa yang harus dijalani, karena perasaan tidak tahu jalan apa yang ada di depan kita. Tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan masa depan kita. Dalam keluh kesah saya mengambil waktu untuk berbicara dengan Tuhan, saya berdoa. Saya sampaikan semuanya, semua apa yang saya rasakan, yang saya pikirkan. Semuanya saya sampaikan kepada Tuhan. Continue reading “Tuhan Setia, Saya Belum Setia”

Jangan Kotori Media Sosial Orang Lain

Era digital saat ini banyak membuka peluang bagi generasi muda khususnya Generasi Z dalam menyampaikan ide/gagasan/pendapat bahkan kritik. Tak hanya itu kadang ucapan/kalimat yang kurang pantas pun dengan gampangnya ditulis di kolom komentar media sosial orang lain. Ironis memang. Zaman ini sudah mengubah sikap/karakter/perilaku orang dengan cepat. Di satu sisi seseorang merasa memiliki hak asasi dalam menyampaikan pendapatnya (sekalipun negatif), di sisi lain seseorang merasa terganggu karena merasa media sosialnya “dikotori” dengan tulisan-tulisan atau komentar yang tidak baik.

Di zaman teknologi serba bisa saat ini hendaklah kita bijak dalam berperilaku. Dengan teknologi yang serba bisa bukan berarti kita serba bisa mau berbuat apapun tanpa memikirkan situasi atau keadaan orang lain. Jika kamu merasa harus menyampaikan pendapatmu, sampaikan dengan jujur dan sopan. Jika kamu merasa kamu tidak wajib untuk menyampaikan pendapatmu, tahanlah, karena kamu tidak bertanggung jawab terhadap urusan orang lain. Jika kamu menuliskan pesan negatif atau menuliskan kalimat “kotor” atau kalimat tidak bermakna di media sosial orang lain yang kamu anggap itu bagian dari pergaulan.. bertanggung jawablah atas tulisan tanganmu/ketikan jarimu. Jangan sampai kita menaruh kotoran di depan rumah orang karena pikirkan saja sebaliknya. Karena ada sebuah pesan tertulis “….perkataan yang kotor, yang kosong atau yang sembrono adalah hal yang tidak pantas tetapi sebaliknya ucapkanlah syukur” (Efesus 5:4). Alangkah enaknya jika kita saling menahan ego negatif kita.

-Angel